Mutiara Untuk Sahabat

Posted by Blogger Name. Category: ,





Kala itu, aku masih duduk terpaku di pintu gerbang hati seorang wanita. Dia adalah seorang yang membuatku menari dengan irama kebisuan, melayang dalam kesendirian, dan mengkhayal dalam impian. Seorang wanita yang telah mengisi kekosongan hati, menyinari gelapnya kehidupan dan membuat diri ini merasa bermain bersama angin jika melihatnya, dan memendam kerinduan yang amat memilukan jika jauh darinya. Hari demi hari yang kulalui begitu berarti dan penuh cahaya. Aku selalu menjadi si kaya yang menengadahkan tangan untuk mengharap sedikit pemberian hatinya bila dia berlalu dihadapanku. Namun tiada apapun yang kudapatkan kecuali secuil perhatiannya. Saat berdiri dipintu gerbang hatinya, gejolak hasrat di jiwa makin menderu laksana ombak yang pasang-surut di samudera biru. Kebimbangan pun menyergapku saat itu. Bagaikan tamu yang tak diundang, menyelinap masuk kesanubari dan memerintahkanku untuk mengetuk pintu hatinya. Bintang-bintang yang berkilauan malam itu mengejek sembari manancapkan kata-kata pengecut ke jantungku. Namun angin malam yang melewati desahan nafasku, memberikan secangkir hiburan dalam kebimbanganku.

Waktupun terus berlalu, dan aku masih setia berdiri menunggu mu’jizat untuk dibukakan pintu itu. Walaupun kutau, itu adalah sebuah kemustahilan yang akan menimpaku, namun kutetap bersikeras menunggu kesempatan untuk menyuguhkan secangkir cintaku. Kadang ku berpikir, untuk apa aku disini digerbang pintu hatinya. Terlalu lama rasanya menunggu namun tak ada tanda-tanda pintu akan terbuka. Sedang di luar aku terperangkap kesepian dan kedinginan. Batinku berbisik, mintalah izin padanya untuk segera pamit, dan jangan pernah kembali lagi. Aku percaya pada bisikan kalbu, kemudian berpamit padanya dan pergi mengembara. Aku pergi kemanapun kaki melangkah. Ditemani kekecewaan membuatku ringan dalam melangkah menelusuri belantara bumi. Di atas sana, rembulan dan bintang-bintang masih saja menertawakan dan tidak lelahnya mengejekku, terbesit dibenakku : ”Masih adakah seseorang yang mau menemaniku? Bersenandung ria dan bercengkrama mesra dengan nasibku ? Mengisi cangkir kosong yang ada ditangan kehidupanku?”

Hanya segenggam harapan yang belum pasti teraih menjadi bekal perjalananku. Dalam bentangan sayap malam, ku telusuri rimba raya bersama kekecewaan yang masih setia menemani hingga sampai ke sebuah tanah lapang ditengah-tengah hutan yang sepi, ku rebahkan diri membebaskan rasa penat dan letih yang membelenggu tangan dan kaki. Pandangaku jauh melayang bermain-main diangkasa. Sesekali, bola api indah menyala dengan kecepatan yang luar biasa mengalih perhatian bola mataku, kemudian hilang dengan gesekan udara yang mengenainya. Tak lama kemudian, aku tertidur berselimuti kabut dan angin malam.

Kini sang mentari mengintip dari ruas-ruas perbukitan yang jauh disana. Angin segarpun menyapa dan mengucapkan selamat pagi padaku. Burung-burung kecil bernyanyi riang menyambut hari baru, setelah semalam berada di sarang masing-masing diam membisu. Kekecewaan kemarin masih saja menyelinap di relung-relung baju kusam yang melekat di badanku. Aku bangkit, dan melangkah menuruni bukit. Jurang-jurang terjal yang menghalangi perjalanan kusuguhkan hidangan lagu-lagu sendu, dengan harapan mereka akan terhibur. Aku yakin, dengan menghiburnya aku bisa terhibur.

Matahari telah berdiri tegak diatas kepalaku, pendakian kali ini dibentangi sebuah padang rumput yang amat luas, disana sekawanan sapi yang merumput dengan tenangnya tanpa ada sedikitpun rasa was-was. Sebatang pohon dipuncak bukit mulai tampak dari kejauhan sedang menungguku untuk berteduh dibawahnya. Semangat untuk mendaki pun kini hadir dan menyingkirkan rasa panas diantara sela-sela nafas keletihan. Sewaktu akan memasuki gerbang naungannya, kulihat seorang gadis sedang duduk seorang diri bersandar dibawahnya membelakangiku. Matanya memandang jauh untuk meraih sesuatu. Lalu aku menyapanya dan duduk membebaskan rasa letih yang selama ini menyandera, melalui celah perkenalan antara aku dengannya, akhirnya kudapatkan seorang teman baru dalam kehidupanku. Dari sayup-sayup sinar matanya menampakkan kesedihan sedang berdendang di dalam kalbu. 


Melalui bahasa kebisuan, dia menanyakan kemana tujuanku. Sebuah jawaban terhidang kehadapannya, ”Aku hanyalah seorang pengembara yang menjauh dari sebuah pintu gerbang yang tidak terbuka. Telah lama mengejar cinta, karena seorang wanita yang masuk ke lubang hatiku, dan menari-nari dengan iringan musik nan syahdu. Membuat hidupku lebih bergairah daripada hari-hari yang lalu. Aku sering terjaga oleh keanggunan wajahnya dari mimpi-mimpi indah, dan terpesona oleh tatapan matanya yang seakan meluluhkan seluruh daging ditubuhku. Namun apalah dayaku, tiap hari ku tadahkan cangkir kecil kepadanya agar mau menuangkan setetes air suci dari hatinya kedalam cangkirku itu, selama itu pula hanya kekosongan yang kuperoleh darinya.”

Pandangannya masih saja menyatu dengan kejauhan dibawah sana. Dalam keheningan yang menyergap, dia mengeluarkan aksara dengan mengenderai serak-serak dari kerongkongannya. ”Rerumputan dan pohon besar ini adalah taman impianku, ku sering duduk menyendiri di sini karena bisa menyatu dengan mimpi-mimpiku. Kisahmu tidak jauh beda dengan apa yang ku lamunkan sekarang ini. Saat ini, diriku sedang menunggu seseorang yang kucintai, tetapi dia tidak mencintaiku. Seorang wanita telah lebih dahulu mengisi periuk cintanya. Dan aku hanya penonton dalam kisah cinta mereka yang mencintai sang aktor lelakinya. Telah lama ku duduk menunggu kedatangannya bersama sebuah harapan dia akan menyatakan cintanya padaku, namun terkadang kejenuhan datang menghapiri, dan mengobrak-abrik isi hayalanku.”

Perlahan-lahan tatapannya mengarah padaku, segudang penasaran kini hadir menelusuri jalan pikiran saat itu. Kucoba memahami dirinya, tetap saja kehampaan memberikan hasilnya padaku. Aku menyela kesunyian diantara naungan pohon dan rumput hijau, ”aku hanyalah pengembara yang berjalan kian kemari, berteman sepi dan kegelapan, seorang diri dikeramaian, tidak ada kekasih yang mencintai diriku, dan tidak juga seorang sahabat yang bisa menukar kesedihan denganku. Kalau engkau hanya ditemani mimpi-mimpi dan hayalanmu, maukah engkau bersahabat denganku?” Senyuman mungil tersungging di bibir manisnya, rona kesedihan kini berganti keceriaan yang membingkai raut wajahnya. Sejuta harapan mulai menyala dibalik kebeningan bola matanya. Aku menambahkan hidangan kalamku, ”jika engkau mau, kita akan bisa mengarungi kesendirian ini bersama-sama, menelusuri kehidupan masing-masing, sambil berbagi kesedihan dan kesenangan kita berdua. Mungkin saja itu akan lebih baik bagi kita.” Anggukan kepalanya dan senyum yang makin melebar di bibir mungilnya menandakan dia setuju dengan ikatan persahabatan yang kusuguhkan kehadapannya.

Sahabatku inilah yang membukakan pintu perjalanan kehidupan baru bagiku yang sebelumnya tak pernah hadir dalam relung pikiran tentang kehidupanku. Dialah yang menunjukkan jalan untukku mencari jati diri. Walaupun hanya sesaat kami bertemu, namun dia telah menjadi bagian dari kehidupan sanubariku. Dia kutinggalkan seorang diri karena aku melanjutkan pengembaraan. Hingga akhirnya, kesendirian bersua denganku dan diriku mampu menyelami samudera kehidupan jiwaku.

Tanpa terasa waktu terus berlalu. Sebuah perjalanan telah banyak menyita waktu. Namun aku bersyukur, karena tidak melakukannya dengan sia-sia. Kini aku dalam perjalanan pulang dari pengembaraan mencari jati diri. Perasaan riang memenuhi segenap ruang dihati. Terkadang di tengah perjalanan kesendirianku muncul dan bercengkrama sambil bertukar pikiran mengisi perjalanan. Kemelut di jiwapun hilang karena aku telah menghidupinya dan dia juga memberikan kehidupan kepadaku. Sepanjang jalan ku renungi kehidupan ini, dan kuminum sarinya sebagai pelepas dahaga dalam perjalanan kembali. Tanpa terasa, kakiku telah memasuki arena sebuah kebun milik seorang petani tidak jauh dari batang pohon seolah menjadi taman impian seorang sahabat yang kutinggalkan dulu. Diantara remang-remang pergantian siang dan malam, mataku menemukan seorang gadis yang sedang duduk sendiri menunggu datangnya kegelapan. Aku menghampiri dan mengisi kekosongannya dengan kedatanganku. Sambutan hangat darinya tersaji untukku, dalam keakraban yang membisu, mataku hanya sanggup bermain dengan kebeningan pengisi bola matanya, dan anak lidahku menjadi kaku untuk menanyakan bagaimana keadaannya.


Lembayung senja menyapa bumi, bintang-bintang mulai menampakkan wujudnya sendiri. Sang mentaripun telah pergi meninggalkan putri malam berkerudung sepi. Seusai mandi, hidangan seadanya dari hasil bumi menunggu dalam bentuk siap saji. Sambil makan bersama lauk olahan tangan sahabatku, pembicaraanku dengannya hanya mengupas sekilas masa lalu, untuk mengisi kata-kata rindu.

Perlahan ku merangkak ke pintu dan keluar menghampiri pohon kenangan masa lalu. Disana masih terukir bayangan indah saat-saat kami bertemu. Dibawah bentangan sayap kegelapan malam, sahabatku mendekati dan memintaku untuk menceritakan pengalaman dalam perjalanan yang baru saja kulalui. Disaksikan taburan bintang yang menghiasi angkasa, aku menceritakan semuanya sedang dia mendengarkan dengan penuh hati.

Kabut dan embun mulai datang diantara kami, senandung kesunyian dialunkan oleh binatang-binantang malam melalui celah-celah sepi. Aku menyuruhnya masuk kedalam rumah dan meninggalkanku seorang diri dibawah pohon itu. Kukatakan padanya bahwa aku akan pergi menjelajahi suatu tempat bersama kesendirianku, mengenang sedikit masa lalu yang kulalui dengan penuh kepahitan dalam hidup ini. Diapun bergegas pergi dan masuk kedalam istana kebesarannya. Sedang aku membaringkan tubuh beralas rumput alami menyanyikan lagu sendu bersama sunyi.



1 komentar:

Judi Bola mengatakan...

waw keyennn

Posting Komentar

◄ Posting Baru Posting Lama ►
 

Copyright 2013 rencongPC Blog: Mutiara Untuk Sahabat Template by CB Blogger Template. Powered by Blogger