Di ufuk timur, sang surya mulai menampakkan wujudnya. Cahaya terang darinya memaksa katup mataku membuka diri untuk menyambut kedatangannya. Kicauan burung-burung mengisi keheningan pagi yang baru saja menghampiri seluruh penghuni bumi. Bersama terpaan angin pepohonan dan rerumputan bergoyang indah menari menambah kenyamanan menembus seluk-seluk sanubari. Ditengah buaian mesra udara pagi, sahabatku datang membawakan secangkir kopi manis bersama ubi rebus dalam sebuah panci. Ditaman impiannya ini, jiwaku menemukan suatu kehangatan saat bercanda ria dengannya mengisi dibawah senyuman mentari pagi. Sejenak kami terdiam saat kebisuan datang menghampiri. Pandanganku melesat jauh mendekati bukit-bukit yang membentang luas sedang mengatur barisan disana. Sebatang kembang indah menebar pesona sambil menari riang di depan mata sahabatku. Tiba-tiba, seekor lebah datang menghampiri dan hinggap diatas kembang itu, kemudian terbang meninggalkannya. Bibir mungilnya mengeluarkan seuntai kata “Kasihan…!”. Akupun terhenyak dari lamunan dan menatap wajahnya sambil menanyakan “apa yang engkau kasihani?”. Dia menjawab, “baru saja mataku menangkap seekor lebah yang hinggap diatas bunga itu. Setelah mengisap madunya, lebah itu terbang meninggalkannya.” Bibirku tersenyum mendengar jawabannya dan mengatakan “itulah kehidupan, wahai sahabatku. Saling menolong dan saling membantu. Seperti pohon yang ada di sekitar kita ini, dia hidup karena usaha akarnya yang menembus relung bumi mencari air, untuk diserahkan ke pohon ini. Sang Pohon juga membagi-bagikan air ke dahan dan dedaunan, demi kelangsungan hidupnya. Dan sekarang kita berada dibawah naungan kerindangan yang dimilikinya. Apakah engkau juga merasa kasihan kepada akar pohon ini, karena telah bersusah payah mencari air di dasar bumi, sedangkan kita hanya bernaung diri dengan kerindangan yang dihasilkannya? Kalau saja engkau bisa mendengar pohon ini bicara dalam kebisuannya, sungguh dia telah mengucapkan terima kasih kepada kita karena telah bernaung dibawah kerindangannya, dan mendengarkan pohon lain meratap sedih karena kerindangannya tidak dimanfaatkan oleh makhluk di sekitarnya. Sang akar dengan senang hati memberikan air hasil susah payahnya ke pohon diatasnya, dan pohon pun membagikan air ke dahan dan dedaunannya dengan suka cita. Begitu juga dengan bunga itu, adalah sebuah kesenangan memberikan madu kepada lebah, dan lebah pun mendapatkan kelangsungan hidupnya dengan mengisap madu bunga itu.”
Aku melihat kebingungan sedang bercengkrama dengannya mendengar penjelasanku. Aku melanjutkan, “Tuhan menciptakan kehidupan di dunia ini berpasang-pasangan. Si pemberi tidak akan ada tanpa si penerima, sikaya tidak akan kaya seandainya saja tidak ada orang miskin, si pandai dan si bodoh, dan lain-lain sebagainya hidup berpasangan serta sama-sama mengarungi kehidupan. Bukankah kehidupan kita lahir dari kehidupan sebuah pasangan? Begitu juga bunga dan lebah itu, bunga adalah pemberi dan lebah adalah penerima. Akar adalah pemberi dan pohon ini adalah penerima. Seorang pemberi akan sangat menderita kalau saja tidak berjumpa dengan penerimanya. Rasakanlah angin yang menembus relung pori-pori pakaianmu, dia adalah udara yang bergerak mencari daerah yang kosong dan hampa untuk di isi dengan dirinya, kemudian menghilangkan kehampaannya. Hal itu telah menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan kita semua.”
Bersama tatapan bening matanya, sahabatku menanyakan, “Bagaimana dengan kehidupan kita?”. Akupun menyuguhkan jawaban padanya. “Kehidupan kita adalah sebuah sungai dari mata air segar yang keluar dari puncak gunung tertinggi. Mula-mula mata air itu membasahi sekelilingnya sambil mencari area untuk dituruninya. Bersama perjalanan waktu, aliran mata air mungil itu menjadi sebuah anak sungai diantara jurang-jurang dan lembah-lembah pengunungan. Semakin lama dia menempuh perjalanan, semakin banyak liku-liku yang telah dibuat dan dilewatinya, semakin luas area alirannya, dan semakin bertambah pula kedalamannya. Dia menelusuri alur kesendirian, mengalirkan harapan, dan menghanyutkan impian. Ikan-ikan didalamnya adalah keharusan yang lalu lalang berkeliaran mengikuti arus, atau melawan arus alirannya. Banyak jembatan yang melintang diatasnya, tapi tak satupun yang tersentuh olehnya. Jadikanlah sungai kehidupanmu itu jernih dan mengalir mengikuti arusnya. Berbahagialah jika ada kaki-kaki mungil bermain ria bersama percikanmu sambil mendendangkan lagu-lagu kebahagiaan dan kesenanganya. Telusuri liku-liku yang sedang menunggumu, dengan pengalamanmu melewati liku-liku tanpa ada hambatan. Janganlah takut saat perjalananmu mencapai tujuan, yaitu sebuah samudera yang dinamakan kematian. Karena kita hidup di sini hanyalah sebuah perjalanan, hidup kita hanya bercocok tanam, dan disanalah pemberhentian kita, disanalah kita akan memanen memetik hasil dari apa yang kita tanam.”
Mengenai kehidupan, orang-orang yang kusuguhkan pertanyaan saat kembali dari pengembaraanku banyak menghidangkan pengertian sebagai santapan jiwa dan pikiranku. Semuanya akan kusampaikan kepadamu.
Suatu hari aku berjumpa dengan seorang sarjana dan diapun mengatakan “Hidup adalah sesuatu yang diawali dengan kelahiran dan diakhiri oleh kematian.” Kemudian aku melanjutkan perjalanan hingga sampai disebuah desa terpencil, sambil melepaskan lelah yang mengeremuti seluruh badan, aku duduk dan bersandar pada sebatang akar pohon besar di tepi sebuah sungai. Sesaat kemudian, seorang ustadz datang mendekati dan duduk di sebelahku. Aku menyuguhkan padanya pertanyaan tentang kehidupan. Diapun menjawab “Kehidupan itu adalah waktu yang berjalan diantara Azan dan Sembahyang.” Pada waktu yang lain, disebuah persimpangan jalan aku bertemu dengan seorang sufi. Saat itu kutanyakan padanya tentang kehidupan. Dengan hati yang ringan dalam keramaian dia menjawab “Kehidupan itu adalah mati, dan kematian itu adalah hidup. Saat seseorang merasakan mati disanalah kehidupan itu berada.” Demikian juga saat bersua dengan seorang petani. Dia menuangkan secangkir aksaranya ke bejanaku saat pertanyaan tentang kehidupan kutanyakan kepadanya “kehidupan adalah kesusahan yang harus dinikmati untuk menggapai kebahagiaan yang hakiki”. Sambil berjalan pulang, jiwaku lepas bebas mengarungi angkasa menjelajahi bukit-bukit yang nampak menantang langit, untuk mencari sebuah jawaban tentang “apa itu kehidupan”. Disana kudapati sebuah ingatan yang terbungkus rapi berdiam diri selama menempuh perjalanan. Aku membuka ikatan pembungkusnya dan melihat tulisan-tulisan peninggalan sang guru tertera didalamnya. “Kehidupan adalah sebuah pulau yang berada ditengah-tengah samudera kesendirian, berbatu harapan, berpohon impian dan bersungai keharusan. Banyak kapal yang singgah, kemudian berangkat dengan meninggalkan duka.”
Sahabatku, ada orang yang mengatakan: “Kita datang ke kehidupan ini seorang diri, dan seorang diri juga kita akan kembali”. Namun aku akan mengatakan padamu, “Kita datang ke kehidupan ini bukanlah sendiri, melainkan bersama “masalah” yang akan kita hadapi. Masalah itu sedang membuat sebuah antrian yang sangat panjang, menunggu waktu dan kempatan untuk menghampiri. Dan sebuah masalah itu juga tidak datang sendiri, melainkan dengan banyak jalan keluar yang ikut serta menemani. Kita datang ke kehidupan ini tidaklah seorang diri, melainkan bersama cinta nan abadi. Cinta itu duduk termangu seorang diri, menunggu masa untuk memeluk kita dengan rangkulan tangan sang dewi. Dan cinta itu mendatangi kita juga bukan seorang diri, melainkan bersama nafsu, cemburu, benci dan dengki. Kesenangan dan kesusahan adalah pengawal pribadi. Kegembiraan dan kesedihan merupakan makanan sehari-hari. Saat kita berjalan-jalan dipasar bersama kesenangan, kesengsaraan sedang menunggu di pintu gerbang rumah. Saat kita bercengkrama dan bercanda ria bersama kegembiraan di ruang tamu, kesedihan sedang menunggu di tempat tidur. Semua itu merupakan warna-warni kehidupan ini”.
Ini hanyalah gambaran yang kulukiskan dan kupajang dihadapanmu tentang kehidupan ini. Karena kita tidak akan tau apa yang belum kita miliki, sebelum kita mendapatkannya, dan kita tidak akan tau apa yang telah kita miliki, hingga kita kehilangannya.
Tanpa kusadari, matahari kini berdiri tegak diatas kepala kami. Cahanya menembus relung-relung dedaunan mencari celah agar sampai ke tubuh kami. Aku mempersilahkan sahabatku untuk kembali ke rumah tidak jauh dari taman impiannya ini, agar dia tidak meninggalkan pekerjaan yang sedang menunggunya dari pagi. Rasa kepuasan memenuhi raut wajahnya, meninggalkanku bersama bayangan pohon yang menaungi, dan beberapa bias sinar “sang raja hari” yang mampu menembus lebatnya tabir dedaunan diatasku. Sejenak kurebahkan diri dan kantukpun mendatangi, berdiri diatas katup mataku, dan membawaku kealam yang tak berpenghuni.
Aku tidak menghitung berapa lama telah berada disini, mengisi kekosongan taman impian sahabat untuk mengusir sepi, dan menjadikan batang pohon ini sebagai sandaranku tiap hari. Setelah pamit, aku pergi meninggalkannya seorang diri bersama mimpi-mimpi yang masih setia menemani. Beberapa mutiara pemberianku menjadi teman setia dalam kesepiannya. Aku pergi antara sayap-sayap senja yang menyelimuti bumi untuk menyongsong pagi ditempat lain. Aku adalah pengembara, dan akan selalu mengembara untuk melihat pagi ditempat yang berbeda. Bayangan sahabatku mengisi pikiran sambil melayang-layang bersama cahaya rembulan sepanjang perjalanan. Derap langkah menjadi iringan musik alami dipanggung sepi, dalam pelukan ratu malam binatang-binatang mungil keluar untuk bernyanyi dan menari.
Aku melihat kebingungan sedang bercengkrama dengannya mendengar penjelasanku. Aku melanjutkan, “Tuhan menciptakan kehidupan di dunia ini berpasang-pasangan. Si pemberi tidak akan ada tanpa si penerima, sikaya tidak akan kaya seandainya saja tidak ada orang miskin, si pandai dan si bodoh, dan lain-lain sebagainya hidup berpasangan serta sama-sama mengarungi kehidupan. Bukankah kehidupan kita lahir dari kehidupan sebuah pasangan? Begitu juga bunga dan lebah itu, bunga adalah pemberi dan lebah adalah penerima. Akar adalah pemberi dan pohon ini adalah penerima. Seorang pemberi akan sangat menderita kalau saja tidak berjumpa dengan penerimanya. Rasakanlah angin yang menembus relung pori-pori pakaianmu, dia adalah udara yang bergerak mencari daerah yang kosong dan hampa untuk di isi dengan dirinya, kemudian menghilangkan kehampaannya. Hal itu telah menjadi suatu kebutuhan dalam kehidupan kita semua.”
Bersama tatapan bening matanya, sahabatku menanyakan, “Bagaimana dengan kehidupan kita?”. Akupun menyuguhkan jawaban padanya. “Kehidupan kita adalah sebuah sungai dari mata air segar yang keluar dari puncak gunung tertinggi. Mula-mula mata air itu membasahi sekelilingnya sambil mencari area untuk dituruninya. Bersama perjalanan waktu, aliran mata air mungil itu menjadi sebuah anak sungai diantara jurang-jurang dan lembah-lembah pengunungan. Semakin lama dia menempuh perjalanan, semakin banyak liku-liku yang telah dibuat dan dilewatinya, semakin luas area alirannya, dan semakin bertambah pula kedalamannya. Dia menelusuri alur kesendirian, mengalirkan harapan, dan menghanyutkan impian. Ikan-ikan didalamnya adalah keharusan yang lalu lalang berkeliaran mengikuti arus, atau melawan arus alirannya. Banyak jembatan yang melintang diatasnya, tapi tak satupun yang tersentuh olehnya. Jadikanlah sungai kehidupanmu itu jernih dan mengalir mengikuti arusnya. Berbahagialah jika ada kaki-kaki mungil bermain ria bersama percikanmu sambil mendendangkan lagu-lagu kebahagiaan dan kesenanganya. Telusuri liku-liku yang sedang menunggumu, dengan pengalamanmu melewati liku-liku tanpa ada hambatan. Janganlah takut saat perjalananmu mencapai tujuan, yaitu sebuah samudera yang dinamakan kematian. Karena kita hidup di sini hanyalah sebuah perjalanan, hidup kita hanya bercocok tanam, dan disanalah pemberhentian kita, disanalah kita akan memanen memetik hasil dari apa yang kita tanam.”
Mengenai kehidupan, orang-orang yang kusuguhkan pertanyaan saat kembali dari pengembaraanku banyak menghidangkan pengertian sebagai santapan jiwa dan pikiranku. Semuanya akan kusampaikan kepadamu.
Suatu hari aku berjumpa dengan seorang sarjana dan diapun mengatakan “Hidup adalah sesuatu yang diawali dengan kelahiran dan diakhiri oleh kematian.” Kemudian aku melanjutkan perjalanan hingga sampai disebuah desa terpencil, sambil melepaskan lelah yang mengeremuti seluruh badan, aku duduk dan bersandar pada sebatang akar pohon besar di tepi sebuah sungai. Sesaat kemudian, seorang ustadz datang mendekati dan duduk di sebelahku. Aku menyuguhkan padanya pertanyaan tentang kehidupan. Diapun menjawab “Kehidupan itu adalah waktu yang berjalan diantara Azan dan Sembahyang.” Pada waktu yang lain, disebuah persimpangan jalan aku bertemu dengan seorang sufi. Saat itu kutanyakan padanya tentang kehidupan. Dengan hati yang ringan dalam keramaian dia menjawab “Kehidupan itu adalah mati, dan kematian itu adalah hidup. Saat seseorang merasakan mati disanalah kehidupan itu berada.” Demikian juga saat bersua dengan seorang petani. Dia menuangkan secangkir aksaranya ke bejanaku saat pertanyaan tentang kehidupan kutanyakan kepadanya “kehidupan adalah kesusahan yang harus dinikmati untuk menggapai kebahagiaan yang hakiki”. Sambil berjalan pulang, jiwaku lepas bebas mengarungi angkasa menjelajahi bukit-bukit yang nampak menantang langit, untuk mencari sebuah jawaban tentang “apa itu kehidupan”. Disana kudapati sebuah ingatan yang terbungkus rapi berdiam diri selama menempuh perjalanan. Aku membuka ikatan pembungkusnya dan melihat tulisan-tulisan peninggalan sang guru tertera didalamnya. “Kehidupan adalah sebuah pulau yang berada ditengah-tengah samudera kesendirian, berbatu harapan, berpohon impian dan bersungai keharusan. Banyak kapal yang singgah, kemudian berangkat dengan meninggalkan duka.”
Sahabatku, ada orang yang mengatakan: “Kita datang ke kehidupan ini seorang diri, dan seorang diri juga kita akan kembali”. Namun aku akan mengatakan padamu, “Kita datang ke kehidupan ini bukanlah sendiri, melainkan bersama “masalah” yang akan kita hadapi. Masalah itu sedang membuat sebuah antrian yang sangat panjang, menunggu waktu dan kempatan untuk menghampiri. Dan sebuah masalah itu juga tidak datang sendiri, melainkan dengan banyak jalan keluar yang ikut serta menemani. Kita datang ke kehidupan ini tidaklah seorang diri, melainkan bersama cinta nan abadi. Cinta itu duduk termangu seorang diri, menunggu masa untuk memeluk kita dengan rangkulan tangan sang dewi. Dan cinta itu mendatangi kita juga bukan seorang diri, melainkan bersama nafsu, cemburu, benci dan dengki. Kesenangan dan kesusahan adalah pengawal pribadi. Kegembiraan dan kesedihan merupakan makanan sehari-hari. Saat kita berjalan-jalan dipasar bersama kesenangan, kesengsaraan sedang menunggu di pintu gerbang rumah. Saat kita bercengkrama dan bercanda ria bersama kegembiraan di ruang tamu, kesedihan sedang menunggu di tempat tidur. Semua itu merupakan warna-warni kehidupan ini”.
Ini hanyalah gambaran yang kulukiskan dan kupajang dihadapanmu tentang kehidupan ini. Karena kita tidak akan tau apa yang belum kita miliki, sebelum kita mendapatkannya, dan kita tidak akan tau apa yang telah kita miliki, hingga kita kehilangannya.
Tanpa kusadari, matahari kini berdiri tegak diatas kepala kami. Cahanya menembus relung-relung dedaunan mencari celah agar sampai ke tubuh kami. Aku mempersilahkan sahabatku untuk kembali ke rumah tidak jauh dari taman impiannya ini, agar dia tidak meninggalkan pekerjaan yang sedang menunggunya dari pagi. Rasa kepuasan memenuhi raut wajahnya, meninggalkanku bersama bayangan pohon yang menaungi, dan beberapa bias sinar “sang raja hari” yang mampu menembus lebatnya tabir dedaunan diatasku. Sejenak kurebahkan diri dan kantukpun mendatangi, berdiri diatas katup mataku, dan membawaku kealam yang tak berpenghuni.
Aku tidak menghitung berapa lama telah berada disini, mengisi kekosongan taman impian sahabat untuk mengusir sepi, dan menjadikan batang pohon ini sebagai sandaranku tiap hari. Setelah pamit, aku pergi meninggalkannya seorang diri bersama mimpi-mimpi yang masih setia menemani. Beberapa mutiara pemberianku menjadi teman setia dalam kesepiannya. Aku pergi antara sayap-sayap senja yang menyelimuti bumi untuk menyongsong pagi ditempat lain. Aku adalah pengembara, dan akan selalu mengembara untuk melihat pagi ditempat yang berbeda. Bayangan sahabatku mengisi pikiran sambil melayang-layang bersama cahaya rembulan sepanjang perjalanan. Derap langkah menjadi iringan musik alami dipanggung sepi, dalam pelukan ratu malam binatang-binatang mungil keluar untuk bernyanyi dan menari.
0 komentar:
Posting Komentar